home

Jumat, 12 November 2010

JUDUL-JUDUL PTK untuk Sekolah Dasar

  1. BIMBINGAN BELAJAR MATEMATIKA BAGI SISWA SEKOLAH DASAR MELALUI METODE PEMBERIAN TUGAS
  2. BIMBINGAN BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS II
  3. BIMBINGAN BELAJAR MATEMATIKA UNTUK MENGATASI KESULITAN SISWA
  4. MEMAHAMI MATERI OPERASI HITUNG KELAS V DI SD NEGERI XXXX
  5. BIMBINGAN BELAJAR MENGURUTKAN BILANGAN KELAS II DI SD NEGERI XXXXX
  6. BIMBINGAN BELAJAR PADA SISWA SD KELAS III YANG MENGALAMI KESULITAN BELAJAR BERHITUNG DALAM OPERASI PENJUMLAHAN MATEMATIKA DI SD NEGERI XXXX
  7. BIMBINGAN GURU GUNA MENINGKATKAN KETERAMPILAN MATEMATIKA DI KELAS II (Studi Kasus Pada Siswa Kelas II SDN XXX)
  8. BIMBINGAN GURU MENGGUNAKAN OPERASI HITUNG DALAM MENGURUTKAN BILANGAN PADA SISWA KELAS 2 SEKOLAH DASAR
  9. BIMBINGAN UNTUK MENINGKATKAN MINAT BELAJAR SISWA DALAM MENGERJAKAN OPERASI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT (Study Kasus Pada Siswa Kelas V SDN XXX)
  10. IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN REALISTIC MATHEMATIC EDUCATION (RME) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS VI SD NEGERI XXX TAHUN PELAJARAN 2006/2007 DALAM POKOK BAHASAN OPERASI HITUNG PADA BILANGAN PECAHAN
  11. KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN BERHITUNG PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA SISWA KELAS I SD NEGERI XXX TAHUN AJARAN 2004/2005
  12. KIAT-KIAT MENINGKATKAN KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR METEMATIKA MATERI PENGUKURAN LUAS DAN KELILING SEGITIGA UNTUK SISWA KELAS IV SD NEGERI XXX
  13. LAYANAN BIMBINGAN BELAJAR PADA SISWA KELAS V DALAM MATA PELAJARAN MATEMATIKA DI SD NEGERI XXX
  14. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN PECAHAN DESIMAL MELALUI
  15. DISKUSI KELOMPOK-KELOMPOK KECIL BAGI SISWA KELAS VI SD NEGERI XXX  TAHUN PELAJARAN 2004-2005
  16. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PENERAPAN KERJA KELOMPOK DENGAN PENILAIAN PORTOFOLIO PADA PEMBELAJARAN PECAHAN DESIMAL UNTUK SIWA KELAS VI SD XXX KABUPATEN XXX TAHUN PELAJARAN 2004/2005
  17. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS II SEKOLAH DASAR XXX TAHUN PELAJARAN 2006/2007 POKOK BAHASAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN CACAH DENGAN PERMAINAN KARTU BRIDGE
  18. METODE PEMECAHAN MASALAH UNTUK MENGATASI KESULITAN MENGERJAKAN SOAL CERITA PADA PELAJARAN MATEMATIKA KELAS III SEKOLAH DASAR DI SD NEGERI XXX TAHUN 2006
  19. PERAN BIMBINGAN BELAJAR MATA PELAJARAN MATEMATIKA POKOK BAHASAN PENJUMLAHAN BRSUSUN PADA KELAS III SEKOLAH DASAR
  20. PERAN BIMBINGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DALAM OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT KELAS IV DI SEKOLAH DASAR
  21. UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BANGUN RUANG MELALUI PEMANFAATAN ALAT PERAGABAGI SISWA KELAS V SDN XXX TAHUN PELAJARAN 2004/2005
  22. UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS III SDN XXX DALAM POKOK BAHASAN
  23. PENJUMLAHAN DENGAN TEKNIK MENYIMPAN MELALUI ALAT PERAGA KANTONG NILAI PLASTIK TRANSPARAN
  24. UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS VI SDN XXX PADA POKOK BAHASAN PEMBAGIAN BILANGAN DESIMAL DENGAN BILANGAN BULAT MELALUI LATIHAN TERSTRUKTUR
  25. UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENYELESAIKAN SOAL PERKALIAN BILANGAN CACAH DENGAN TEKNIK MENGGUNAKAN MODEL PADA SISWA KELAS IV SDN XXX
  26. PENINGKATAN KEMAMPUAN OPERASI PERKALIAN BERSUSUN MELALUI METODE PEMBERIAN TUGAS DAN DRILL PADA SISWA KELAS IV SDN XXX
  27. PERAN BIMBINGAN BELAJAR PADA PESERTA DIDIK KESULITAN BELAJAR PADA MATA PELAJARAN : MATEMATIKA KELAS : V
  28. PERAN BIMBINGAN BELAJAR PADA PESERTA DIDIK YANG MENGALAMI KESULITAN BELAJAR MATA PELAJARAN : MATEMATIKA
  29. PERAN BIMBINGAN GURU DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA MELALUI MEDIA GAMBAR DI KELAS IV SD NEGERI XXX TAHUN 2006/2007
  30. PERAN BIMBINGAN INDIVIDU DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MELAKUKAN PEMBAGIAN BILANGAN CACAH SISWA KELAS III SD NEGERI XXX
  31. PERAN BIMBINGAN INDIVIDU DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN MELAKUKAN PERKALIAN BILANGAN CACAH PADA SISWA KELAS V SD NEGERI XXX
  32. PERAN BIMBINGAN INDIVIDU DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN PENGERJAAN OPERASI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN PADA BILANGAN CACAH KELAS III SDNN XXX
  33. PERAN BIMBINGAN PADA SISWA KELAS VI DALAM MATA PELAJARAN MATEMATIKA
  34. PERAN PEMBERIAN TUGAS DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN MELAKUKAN OPERASI HITUNG PECAHAN SENILAI PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI XXX
  35. LAYANAN BIMBINGAN BELAJAR PADA SISWA KELAS V DALAM MATA PELAJARAN MATEMATIKA DI SD NEGERI XXX
  36. MANAJERIAL BIMBINGAN MATEMATIKA PADA OPERASI HITUNG CAMPURAN KELAS VI SDN XXX KECAMATAN XX KABUPATEN XXX
  37. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DALAM MENYELESAIKAN SOAL-SOAL PADA POKOK BAHASAN PENGUKURAN (SATUAN UKUR PANJANG) MELALUI IMPLEMENTASI METODE PROBLEM SOLVING DAN MEMANFAATKAN ALAT PERAGA TANGGA SATUAN UKUR PANJANG PADA SISWA KELAS IV SEMESTER I TAHUN PELAJARAN 2006/2007 DI SDN XXX
  38. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN AKTIFITAS SISWA PADA POKOK BAHASAN BILANGAN BULAT
  39. PENGERJAAN HITUNG CAMPURAN MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN MEDIA PERMAINAN MENCARI HARTA KARUN DI KELAS III SEMESTER 1 SD NEGERI XXX
  40. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PENERAPAN KERJA KELOMPOK DENGAN PENILAIAN PORTOFOLIO PADA PEMBELAJARAN PECAHAN DESIMAL UNTUK SIWA KELAS VI SD XXX KABUPATEN XXX TAHUN PELAJARAN 2004/2005
  41. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PENGGUNAAN ALAT PERAGA PETAK PERSEGI SATUAN DALAM MENGUKUR LUAS DAERAH PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG SISWA KELAS IV SD XXX TAHUN PELAJARAN 2005-2006
  42. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN PECAHAN DESIMAL MELALUI DISKUSI KELOMPOK-KELOMPOK KECIL BAGI SISWA KELAS VI SD NEGERI XXX TAHUN PELAJARAN 2004-2005
  43. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA POKOK BAHASAN PERKALIAN DAN PEMBAGIAN MENGGUNAKAN MEDIA KOMPUTER PADA SISWA KELAS II SD XXX TAHUN PELAJARAN 2004/2005
  44. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS II SEKOLAH DASAR XXX KABUPATEN XXX TAHUN PELAJARAN 2006/2007 POKOK BAHASAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN CACAH DENGAN PERMAINAN KARTU BRIDGE
  45. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS V SDN XXX TAHUN PELAJARAN 2004/2005 MELALUI PENGGUNAAN PIAS-PIAS (CHART) PADA PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN PECAHAN DESIMAL
  46. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATERI PENGUKURAN DENGAN PENDEKATAN BERBASIS MASALAH YANG KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS 4 SD XXX TAHUN 2004/2005
  47. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PADA POKOK BAHASAN VOLUM BALOK DAN KUBUS DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA TIGA DIMENSI PADA SISWA KELAS V SD XXX
  48. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS V SD XXX 01 TAHUN PELAJARAN 2006/2007 PADA MATERI PECAHAN MELALUI PENDAMPINGAN DENGAN MEMANFAATKAN ALAT PERAGA DAN MEDIA BERBANTUAN KOMPUTER
  49. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR POKOK BAHASAN PENGUMPULAN DAN PENGELOLAAN DATA SISWA KELAS VI SD NEGERI 2 XXX TAHUN PELAJARAN 2004/2005 MELALUI IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
  50. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PERKALIAN BILANGAN CACAH DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA POTONGAN LIDIPADA SISWA KELAS II SD XXX TAHUN PELAJARAN 2004/2005
  51. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IIIA SD XXX KECAMATAN XXX KABUPATEN XXX DALAM MENYELESAIKAN SOAL HITUNG CAMPURAN MELALUI DISKUSI KELOMPOK-KELOMPOK KECIL
  52. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV (EMPAT) SD XXX PADA POKOK BAHASAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT MENGGUNAKAN PERAGA GARIS BILANGAN TAHUN PELAJARAN 2005 / 2006
  53. PENGARUH BIMBINGAN BELAJAR TERHADAP PENGATASAN KESULITAN BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS IV SD XXX
  54. PENGARUH LAYANAN BIMBINGAN BELAJAR DALAM MENGATASI KESULITAN BELAJAR SISWA MENGERJAKAN OPERASI HITUNG PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT PADA SISWA KELAS V SD NEGERI XXX
  55. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DALAM MENYELESAIKAN SOAL-SOAL PADA POKOK BAHASAN PENGUKURAN (SATUAN UKUR PANJANG) MELALUI IMPLEMENTASI METODE PROBLEM SOLVING DAN MEMANFAATKAN ALAT PERAGA TANGGA SATUAN UKUR PANJANG PADA SISWA KELAS IV SEMESTER I TAHUN PELAJARAN 2006/2007 DI SDN XXX
  56. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PENERAPAN KERJA KELOMPOK DENGAN PENILAIAN PORTOFOLIO PADA PEMBELAJARAN PECAHAN DESIMAL UNTUK SIWA KELAS VI SD XXX TAHUN PELAJARAN 2004/2005
  57. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PENGGUNAAN ALAT PERAGA PETAK PERSEGI SATUAN DALAM MENGUKUR LUAS DAERAH PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG SISWA KELAS IV SD XX TAHUN PELAJARAN 2005-2006
  58. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN PECAHAN DESIMAL MELALUI
  59. DISKUSI KELOMPOK-KELOMPOK KECIL BAGI SISWA KELAS VI SD NEGERI XXX , KECAMATAN XXX, KABUPATEN XXX TAHUN PELAJARAN 2004-2005
  60. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS II SEKOLAH XXX KECAMATAN XXX KABUPATEN XXX TAHUN PELAJARAN 2006/2007 POKOK BAHASAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN CACAH DENGAN PERMAINAN KARTU BRIDGE
  61. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS V SDN JAMBEWANGI SECANG TAHUN PELAJARAN 2004/2005 MELALUI PENGGUNAAN PIAS-PIAS (CHART) PADA PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN PECAHAN DESIMAL
  62. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATERI PENGUKURAN DENGAN PENDEKATAN BERBASIS MASALAH YANG KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS 4 SD XXX VI KECAMATAN XXX KABUPATEN XXX TAHUN 2004/2005
  63. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PADA POKOK BAHASAN VOLUM BALOK DAN KUBUS DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA TIGA DIMENSI PADA SISWA KELAS V SD XXX
  64. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS V SD PATEMON 01 TAHUN PELAJARAN 2006/2007 PADA MATERI PECAHAN MELALUI PENDAMPINGAN DENGAN MEMANFAATKAN ALAT PERAGA DAN MEDIA BERBANTUAN KOMPUTER
  65. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR POKOK BAHASAN PENGUMPULAN DAN PENGELOLAAN DATA SISWA KELAS VI SD NEGERI 2 XXX TAHUN PELAJARAN 2004/2005 MELALUI IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
  66. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IIIA SD XXX DALAM MENYELESAIKAN SOAL HITUNG CAMPURAN MELALUI DISKUSI KELOMPOK-KELOMPOK KECIL
  67. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV (EMPAT) SD LXXX PADA POKOK BAHASAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT MENGGUNAKAN PERAGA GARIS BILANGAN TAHUN PELAJARAN 2005 / 2006
  68. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SDN XXX TAHUN PELAJARAN 2004 / 2005
  69. DALAM POKOK BAHASAN PENJUMLAHAN, PENGURANGAN, DENGAN ALAT PERAGA ABACUS MELALUI PENDEKATAN KONTRUKTIVISME
  70. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS VI DALAM MENENTUKAN LUAS PERMUKAAN BANGUN RUANG DENGAN BANTUAN ALAT PERAGA PADA SD XXX TAHUN PELAJARAN 2004/2005
  71. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS V SD NEGERI BENDUNGAN 01 TAHUN PELAJARAN 2005 / 2006 PADA POKOK BAHASAN VOLUM KUBUS DAN BALOK MELALUI COOPERATIVE LEARNING
  72. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS V SD NEGERI WATES PADA POKOK BAHASAN BANGUN DATAR SEBAGAI IMPLEMENTASI PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)
  73. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SUB POKOK BAHASAN OPERASI BILANGAN PECAHAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU PECAHAN PADA SISWA KELAS III MI MIFTAHUL HUDA XXX TAHUN AJARAN 2004/ 2005
  74. KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN BERHITUNG PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA SISWA KELAS I SD NEGERI XXX TAHUN AJARAN 2004/2005
  75. BIMBINGAN BELAJAR BAGI SISWA KELAS I YANG MENGALAMI KESULITAN BELAJAR MATEMATIKA
  76. BIMBINGAN BAGI SISWA-SISWI YANG MENGALAMI KESULITAN PADA OPERASI HITUNG BILANGAN PERKALIAN KELAS III SEKOLAH DASAR
  77. BIMBINGAN BELAJAR DENGAN TEORI BELAJAR MENGAJAR PIAGET PADA MATA PELAJARAN MATEMTIKA DI KELAS III (TIGA) SD N BRINGIN 01 KECAMATAN XXX
  78. BIMBINGAN BELAJAR MENULIS PERMULAAN MELALUI METODE SAS MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS I SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  79. BIMBINGAN BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR KELAS III MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  80. BIMBINGAN DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS SURAT PRIBADI DI KELAS IV SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  81. BIMBINGAN DALAM PENYELESAIAN SOAL CERITA PADA SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  82. BIMBINGAN DAN STRATEGI PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA SSIWA SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  83. PERANAN BIMBINGAN BELAJAR MEMBACA BAGI SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  84. PERAN BIMBINGAN BELAJAR BERBAHASA BAGI ANAK SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  85. PERAN BIMBINGAN BELAJAR KESULITAN BERKONSENTRASI MENGIKUTI PELAJARAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  86. MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS PROSA DESKRIPSI BAGI SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  87. STUDI DESKRIPTIF TENTANG PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH SEBAGAI SUMBER BELAJAR DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  88. UPAYA GURU UNTUK MENGATASI KESULITAN BELAJAR BAHASA INDONESIA MELALUI LAYANAN BIMBINGAN PADA SISWA KELAS II SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  89. UPAYA MEMOTIVASI SISWA DALAM MEMBACA GUNA MELATIH MEMAHAMI ISI BACAAN DI KELAS III SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  90. PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGAPRESIASI DONGENG DENGAN METODE PAKEM SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  91. PERAN BIMBINGAN BELAJAR ANAK SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  92. PERAN BIMBINGAN BELAJAR ANAK SD MAPEL BAHASA INDONESIA KELAS II SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  93. PERAN BIMBINGAN BELAJAR ANAK SD MELALUI PENDEKATAN PENGAJARANREMEDIAL SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  94. PERAN BIMBINGAN BELAJAR BERBAHASA BAGI ANAK SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  95. PERAN BIMBINGAN INDIVIDUAL MELALUI STRATEGI PENGGUNAAN KARYA SASTRA TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA PADA SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  96. LAYANAN BIMBINGAN BELAJAR DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENDENGARKAN DALAM MATA PELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA PADA KELAS V SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  97. MENGOPTIMALKAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA DENGAN METODE PEMBERIAN TUGAS PADA SISWA KELAS VI SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  98. MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBACA PEMAHAMAN MELALUI PENDEKATAN KETRAMPILAN PROSES PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  99. PENERAPAN METODE BELAJAR AKTIF SEBAGAI UPAYA MEMBANTU MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA KELAS 6 SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  100. BIMBINGAN BELAJAR MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA SISWA YANG MENGALAMI MASALAH KURANG MOTIVASI BELAJAR KELAS V SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX
  101. BIMBINGAN BELAJAR DALAM UPAYA MENINGKATKAN KETRAMPILAN MENULIS TEGAK BERSAMBUNG MELALUI MEDIA BUKU HALUS PADA SISWA KELAS II
  102. BIMBINGAN BELAJAR MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA SISWA YANG MENGALAMI MASALAH KURANG MOTIVASI BELAJAR KELAS V SEKOLAH DASAR XXX KEC. XXX  KAB. XXX

ILMU SAINS

JENIS-JENIS PENELITIAN PENDIDIKAN SAINS
  1. A.     PENDAHULUAN
Ketika mendengar kata penelitian, orang sering membayangkan suatu kesibukan di laboratorium. Penilitian adalah Sesuatu yang dilakukan oleh seseorang yang secara tampilan sudah tua dengan baju khusus. Memang apa yang dibayangkan orang-orang seperti disebutkan itu ada betulnya, tetapi tidak seluruhnya betul. Aktivitas di laboratorium memang mengindikasikan bahwa sedang terjadi penelitian. Akan tetapi apakah penelitian harus dilakukan di laboratorium?
Penelitian tidak hanya dimonopoli oleh ilmu pengetahuan alam. Ilmu pengetahuan lain memungkinkan untuk dilakukan penelitian. Artinya penelitian tergantung pada objek apa yang akan diteliti. Jika objeknya adalah pendidikan maka penelitian pendidikan adalah penelitian tentang hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pendidikan.
Peneliti dapat memilih berjenis-jenis metode dalam melaksanakan penelitiannya. Metode yang dipilih harus berhubungan erat dengan prosedur, alat serta desain penelitian yang dipilih. Begitu juga dengan prosedur dan alat yang digunakan dalam penelitian harus cocok dengan metode penelitian yang digunakan.
  1. B.     PEMBAHASAN
Penelitian adalah suatu proses mencari sesuatu secara sistematik dalam waktu yang lama dengan menggunakan metode ilmiah serta aturan-aturan yang berlaku. Penelitian dengan menggunakan metode ilmiah (scientific method) disebut penelitian ilmiah (scientific research). Dalam penelitian ilmiah ini, selalu ditemukan dua unsur penting, yaitu unsur observasi (pengamatan) dan unsur nalar (reasoning). Unsur pengamatan merupakan kerja dengan mana pengetahuan mengenai fakta-fakta tertentu diperoleh melalui kerja mata (pengamatan) dengan menggunakan dengan menggunakan persepsi (sense of perception). Nalar adalah suatu kekuatan dengan mana arti dari fakta-fakta, hubungan dan interelasi terhadap pengetahuan yang timbul, sebegitu jauh diterapkan sebagai pengetahuan.
Secara umum penelitian mempunyai dua fungsi utama, yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan dan memperbaiki praktik. Pemahaman tentang bagaimana penelitian berperan dalam mengembangkan pengetahuan dan memperbaiki praktik pendidikan dikaitkan dengan perbedaan jenis penelitian berkenaan dengan fungsinya. Secara umum dan mendasar dapat dibedakan ke dalam tiga macam penelitian, yaitu penelitian dasar (basic research), penelitian terapan (applied research) dan penelitian evaluatif (evaluative research).
Selain berdasarkan pendekatan dan fungsinya, penelitian juga dapat dibedakan berdasarkan tujuannya. Berdasarkan tujuan, penelitian dapat dibedakan menjadi penelitian deskriptif, prediktif, improftif, dan eksplanatif.
Dalam suatu penelitian, memilih metode yang akan digunakan adalah hal yang sangat penting. Pemilihan metode atau pendekatan penelitian dapat ditentukan melalui permasalahannya. Menurut M. Nazir secara umum, metode penelitian dapat dikelompokkan menjadi enam bagian, antara lain:.
  1. Metode Sejarah
Metode sejarah merupakan metode dalam penelitian yang menyelidiki secara kritis tentang keadaan-keadaan, perkembangan, dan pengalaman-pengalaman di masa lampau dengan jalan menimbang cukup teliti dan hati-hati validitas dari sumber sejarah serta interprestasinya, sehingga dapat dibuat rekontruksi masa lampau secara objektif, sistematis dan benar. Misalnya saja meneliti tentang kurikulum KBK, dicari kelemahan-kelemahannya untuk kemudian dikembangkan dalam kurikulum baru yang lebih baik.
  1. Metode Deskriptif
Metode deskriptif yaitu suatu metode dalam penelitian yang menelaah tentang status kelompok manusia, objek, kondisi, sisitem pemikiran dan peristiwa-peristiwa masa sekarang sehingga dapat dibuat suatu gambaran yang sistematif, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti. Penelitian deskriptif mempunyai ciri-ciri (1) berhubungan dengan keadaan yang terjadi saat itu, (2) menguraikan satu variabel saja atau beberapa variabel namun diuraikan satu persatu, dan (3) variabel yang diteliti tidak dimanipulasi atau tidak ada perlakuan. Tujuan utama digunakannya metode ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan untuk memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Metode ini terdiri dari beberapa bagian:
  • metode survei adalah meode yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dll. Melalui suvei, peneliti akan dapat menentukan, mengumpulkan data dan mendapatkan informasi yang berkaitan erat dengan permasalahan yang ditelitii secara luas.
  • metode deskriptif berkesinambuangan (continuity descriptif research) adalah metode penelitian secara deskriptif yang dilakukan terus-menerus atas suatu objek penelitian terutama dalam penelitian masalah-masalah pendidikan.
  • metode studi kasus yaitu metode penelitian tentang subjek penelitian berupa individu, kelompok, lembaga atau masyarakat, yang berkenaan dengan suatu fase, sehingga dapat memberikan gambaran secara detail tentang latar belakang, sifat dan karakter yang khas dari suatu kasus.
  • metode analisis pekerjaan dan aktivitas, metode penelitian ini digunakan untuk menyelidiki secara terperinci tentang aktivitas dan pekerjaan manusia, sehingga dapat memberikan rekomendasi untuk keperluan yang akan datang.
  • studi komparatif , metode penelitian ini digunakan untuk mencari jawaban secara mendasar tentang sebab akibat, dengan jalan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya suatu fenomena di masa sekarang.
  • metode studi waktu dan gerakan, metode ini merupakan metode yang berusaha untuk meneliti tentang efisiensi produksi dengan melakukan studi yang mendetail mengenai pemanfaatan waktu serta perilaku pekerjaan proses produksi.
  1. Metode Eksperimental
Metode penelitian ini sering digunakan dalam penelitian bidang eksakta (ilmu alam), yaitu dengan cara melakukan manipulasi terhadap subjek penelitian serta adanya kontrol. Manipulasi disini maksudnya adalah suatu tindakan untuk mnegerjakan sesuatu dengan tangan atau alat mekanis secara terampil. Namun, penggunaan metode eksperimental ini dapat pula diterpkan pula pada ilmu-ilmu sosial dengan sistematika tertentu.
  1. Metode Grounded Research
Merupakan suatu metode penelitian yang berdasarkan pada fakta dengan menggunakan analisi perbandingan, yang bertujuan untuk melakukan generalisasi empiris, menetapkan konsep-konsep, membuktikan dan mengembangkan teori. Pengumpulan dan analisis data berjalan pada waktu yang bersamaan.
  1. Metode Penelitian Tindakan (action research)
Metode penelitian ini dikembangkan antara si peneliti dengan pembuat keputusan (decision maker) tentang variabel-variabel yang bisa dimanipulasikan, sehingga diperoleh penemuan-penemuan yang signifikan secara operasional dan dapat diterapkan dalam pelaksanaan kebijakan.
  1. Penelitian Expost Facto
Penelitian expost facto merupakan penyelidikan secara empiris yang sistematik dimana peneliti tidak mempunyai kontrol langsung terhadap variabel-variabel bebas (independent variable) karena menifestasi fenomena telah terjadi atau karena fenomena sukar dimanipulasikan. Pada expost facto, kontrol langsung tidak mungkin dikerjakan, baik secara manipulasi atau randomisasi. Akibatnya, hubungan hipotetikal yang dibentuk atau dipikirkan ada pada penelitian ini tidak dapat diuji dengan confidence (Nazir, 1985).
Penelitian expost facto disebut demikian karena sesuai dengan arti expost facto, yaitu “dari apa dikerjakan setelah kenyataan”, maka penelitian ini disebut sebagai penelitian sesudah kejadian. Penelitian ini juga sering disebut after the fact, retrospective study (studi penelusuran kembali). Penelitian expost facto merupakan penelitian dimana variabel-variabel bebas telah terjadi ketika peneliti mulai dengan pengamatan variabel terikat dalam suatu penelitian(Sukardi, 2003).
Selain beberapa metode yang telah disebutkan di atas, sesuai dengan perkembangan zaman, berdasarkan tujuannya kita mengenala istilah penelitian dan pengembangan. Penelitian dan pengembangan (research and development) merupakan metode untuk mengembangkan dan menguji suatu produk. Dalam bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan dapat digunakan untuk mengembangkan buku, modul, media pembelajaran, instrumen evaluasi, model-model kurikulum, pembelajaran, evaluasi, bimbingan, manajemen, dll.
Banyak sekali ragam penelitian yang dapat kita lakukan. Hal ini tergantung dari tujuan, pendekatan, bidang ilmu, tempat, dan sebagainya. Hal ini dapat dirangkum sebagai berikut:
  1. a.      Menurut Fungsi / Kedudukan
  1.  
    1. Penelitian Akademik (Mahasiswa S1, S2, S3), ciri/penekanan :
  • Merupakan sarana edukasi
  • Mengutamakan validitas internal (cara yang harus benar)
  • Variabel penelitian terbatas
  • Kecanggihan analisis disesuaikan dengan jenjang (S1, S2, S3)
  • Bertujuan mendapatkan pengetahuan baru yang berkenaan dan ilmu, teknologi dan seni.
  • Variabel penelitian lengkap
  • Kecanggihan analisis disesuaikan kepentingan masyarakat ilmiah
  • Validitas internal (cara yang benar) dan validitas eksternal (kegunaan dan generalisasi) diutamakan
  • Bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk pengembangan kelembagaan
  • Mengutamakan validitas eksternal (kegunaan)
  • Variabel penelitian lengkap (kelengkapan informasi)
  • Kecanggihan analisis disesuaikan untuk pengambilan keputusan.
  1.  
    1. Penelitian Profesional (pengembangan ilmu, teknologi dan seni), ciri/ penekanan :
  1.  
    1. Penelitian Institusional (perumusan kebijakan atau pengambilan keputusan), ciri/penekanan :
  1. b.      Menurut Kegunaan
    1. 1.       Penelitian Murni (Pure Research) / Penelitian Dasar
Penelitian yang kegunaannya diarahkan dalam rangka penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
  1. 2.      Penelitian Terapan (Applied Research)
Penelitian yang kegunaannya diarahkan dalam rangka memecahkan masalah-masalah kehidupan praktis.
  1. c.      Menurut Tujuan
    1. 1.       Penelitian Eksploratif
Bertujuan untuk mengungkap secara luas dan mendalam tentang sebab-sebab dan hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu.
  1. 2.      Penelitian Pengembangan
Bertujuan untuk menemukan dan mengembangkan suatu prototipe baru atau yang sudah ada dalam rangka penyempurnaan dan pengembangan sehingga diperoleh hasil yang lebih produktif, efektif dan efisien.
  1. 3.      Penelitian Verifikatif
Bertujuan untuk mengecek kebenaran hasil penelitian yang dilakukan terdahulu/ sebelumnya.
  1. 4.      Penelitian Kebijakan
Penelitian yang dilakukan suatu institusi/lembaga dengan tujuan untuk membuat langkah-langkah antisipatif guna mengatasi permasalahan yang mungkin timbul di kemudian hari.
  1. d.      Menurut Pendekatan
    1. 1.       Penelitian Longitudinal (Bujur)
Penelitian yang pengumpulan datanya dilakukan melalui proses dan waktu yang lama terhadap sekelompok subjek penelitian tertentu (tetap) dan diamati/diukur terus menerus mengikuti masa perkembangannya (menembak beberapa kali terhadap kasus yang sama).
  1. 2.      Penelitian Cross-Sectional (Silang)
Penelitian yang pengumpulan datanya dilakukan melalui proses kompromi (silang) terhadap beberapa kelompok subjek penelitian dan diamati/diukur satu kali untuk tiap kelompok subjek penelitian tersebut sebagai wakil perkembangan dari tiap tahapan perkembangan subjek (menembak satu kali terhadap satu kasus).
  1. e.      Menurut Tempat
    1. 1.       Penelitian Laboratorium
Eksperimen, tindakan, dll
  1. 2.      Penelitian Perpustakaan
Studi dokumentasi (analisis isi buku, penelitian historis, dll).
  1. 3.      Penelitian Kancah / Lapangan
Survei, dll.
  1. f.        Menurut Kehadiran Variabel
    1. 1.       Penelitian Deskriptif
Penelitian yang dilakukan terhadap variabel yang data-datanya sudah ada tanpa proses manipulasi (data masa lalu dan sekarang).
  1. 2.      Penelitian Eksperimen
Penelitian yang dilakukan terhadap variabel yang data-datanya belum ada sehingga perlu dilakukan proses manipulasi melalui pemberian treatment/ perlakuan tertentu terhadap subjek penelitian yang kemudian diamati/diukur dampaknya (data yang akan datang).
  1. g.      Menurut Tingkat Eksplanasi
    1. 1.       Penelitian Deskriptif
Penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan suatu variabel secara mandiri, baik satu variabel atau lebih tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan variabel dengan variabel lainnya.

  1. 2.      Penelitian Komparatif
Penelitian yang dilakukan untuk membandingkan suatu variabel (objek penelitian), antara subjek yang berbeda atau waktu yang berbeda.
  1. 3.      Penelitian Asosiatif
Penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara 2 variabel atau lebih.
Penelitian asosiatif merupakan penelitian dengan tingkatan tertinggi dibanding penelitian deskriptif dan komparatif. Dengan penelitian asosiatif dapat dibangun suatu teori yang berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu gejala/fenomena.
  1. h.      Menurut Caranya
    1. 1.       Penelitian Operasional
Penelitian yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja pada suatu bidang tertentu terhadap proses kegiatannya yang sedang berlangsung tanpa mengubah sistem pelaksanaannya.
  1. 2.      Penelitian Tindakan
Penelitian yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja pada suatu bidang tertentu terhadap proses kegiatannya yang sedang berlangsung dengan cara memberikan tindakan/action tertentu dan diamati terus menerus dilihat plus-minusnya, kemudian diadakan pengubahan terkontrol sampai pada upaya maksimal dalam bentuk tindakan yang paling tepat.
  1. 3.      Penelitian Eksperimen (dari caranya)
Penelitian yang dilakukan secara sengaja oleh peneliti dengan cara memberikan treatment/perlakuan tertentu terhadap subjek penelitian guna membangkitkan sesuatu kejadian/keadaan yang akan diteliti bagaimana akibatnya.
Penelitian ini merupakan penelitian kausal (sebab akibat) yang pembuktiannya diperoleh melalui komparasi/perbandingan antara :
  1. Kelompok eksperimen (diberi perlakuan) dengan kelompok kontrol (tanpa perlakukan); atau ;
  2. Kondisi subjek sebelum perlakuan dengan sesudah diberi perlakuan.
  3. i.        Menurut Metodenya (Jenis-jenis Penelitian
    1. 1.       Metode Survei
    2. 2.      Metode Eksperimen
    3. 3.      Metode Expose Facto
    4. 4.      Metode Naturalistik/Alamiah
    5. 5.      Metode Tindakan
    6. 6.      Metode Evaluasi
    7. 7.      Metode Kebijakan
    8. 8.      Metode Sejarah/Historis
      1. C.     PENUTUP
Penelitian adalah sebagai proses mencari kebenaran yang didasari oleh metode ilmiah. Hal ini tercermin pada sikap peneliti yang serius dan sungguh-sunggu untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang dihadapi. Untuk mencapai sebuah jawaban kebenaran dari pertanyaan yang muncul, maka peneliti tidak dengan mudah menarik kesimpulan. Proses penelitian harus menggunakan metode yang tepat sehingga pada akhirnya menemukan jawaban yang tepat pula.
Penentuan metode penelitian adalah hal yang sangat penting karena terkait pada apa yang akan diteliti. Karakteristik objek penelitian menentukan metode apa yang tepat untuk mencari kebenaran. Objek penelitian yang dapat dijelaskan secara jelas dari sudut ontology, epistemology, dan aksiologi.
Pendidikan sains sebagai objek kajian penelitian adalah sesuatu hal yang unik dan memiliki karakteristik tersendiri sehingga membutuhkan pendekatan yang khusus pula. Pendidikan sains adalah objek kajian yang sangat kompleks sehingga harus di-breakdown ke dalam bagian yang lebih kecil.
Pada akhirnya, temukan terlebih dahulu objek kajian penelitian yang lebih spesifik kemudian tentukan metode penelitian yang tepat.
  1. D.    DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan Praktik. Cet. 13. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Mardalis. 2004. Metode Penelitian (suatu pendekatan proposal). Ed. 1, Cet. 7. Jakarta: Bumi Aksara.
Narbuko, Kholid. 2005. Metodologi Penelitian: memberikan bekal teoritis pada mahasiswa tentang metodologi penelitian serta diharapkan dapat melaksanakan penelitian serta diharapkan dapat melaksanakan penelitian dengan langkah-langkah yang benar. Cet. 7. Jakarta: Bumi Aksara.
Nazir, Muhammad. 1988. Metode Penelitian. Cet. 3. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Cet. 3. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Cet. 1. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Wiriaatmadja, Rochiati. 2005. Metode Penelitian Tiindakan Kelas. Cet. 1. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.















  1. A. Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam
IPA secara sederhana didefinisikan sebagai ilmu tentang fenomena alam semesta. Dalam kurikulum pendidikan dasar terdahulu (1994) dijelaskan pengertian IPA (sains) sebagai hasil kegiatan manusia berupa pengetahun, gagasan, dan konsep yang terorganisasi tentang alam sekitar, yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses ilmiah antara lain penyelidikan, penyusunan dan pen-gujian gagasan-gagasan. Sedangkan dalam kurikulum 2004 sains (IPA) diartikan sebagai cara mencari tahu secara sistematis tentang alam semesta.
Sains atau IPA adalah ilmu yang objeknya adalah alam dengan segala isinya. Hal yang dipelajari dalam IPA adalah hubungan sebab-akibat gejala alam, hubungan kausal dari kejadian-kejadian yang terjadi di alam. Menurut Powler  dalam Winataputra (1993), IPA adalah ilmu yang sistematis dan dirumuskan dengan mengamati gejala-gejala kebendaan, dan didasarkan terutama atas pengamatan induksi. Carin dan Sund (1993) mendefinisikan IPA sebagai pengetahuan yang sistematis atau tersusun secara teratur, berlaku umum, dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen. Aktivitas dalam IPA selalu berhubungan dengan percobaan-percobaan yang membutuhkan keterampilan dan kerajinan. Secara sederhana, IPA dapat juga didefinisikan sebagai apa yang dilakukan oleh para ahli IPA. IPA bukan hanya kumpulan pengetahuan tentang benda atau makhluk hidup, tetapi menyangkut cara kerja, cara berpikir, dan cara memecahkan masalah. Ilmuwan IPA selalu tertarik dan memperhatikan peristiwa alam, selalu ingin mengetahui apa, bagaimana, dan mengapa tentang suatu gejala alam dan hubungan kausalnya.
Terdapat tiga unsur utama dalam IPA, yaitu sikap manusia, proses atau metodologi, dan hasil IPA yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Sikap manusia yang selalu ingin tahu tentang benda-benda, makhluk hidup, dan hubungan sebab-akibatnya akan menimbulkan permasalahan-permasalahan yang selalu ingin dipecahkan dengan prosedur yang benar. Prosedur tersebut meliputi metode ilmiah. Metode ilmiah mencakup perumusan hipotesis, perancangan percobaan, pengukuran, dan akhirnya menghasilkan produk berupa fakta-fakta, konsep,  prinsip-prinsip, teori, hukum, dan sebagainya.
Sri Sulistyorini (2007: 9) menyebutkan bahwa IPA dapat dipandang dari segi produk, proses dan dari segi pengembangan sikap. Artinya pembelajaran IPA memiliki dimensi proses, dimensi hasil (produk), dan dimensi pengembangan sikap ilmiah. Ketiga dimensi tersebut bersifat saling terkait. Ini berarti bahwa proses pembelajaran IPA seharusnya mengandung ketiga dimensi IPA tersebut.
  1. IPA sebagai Produk
IPA sebagai produk merupakan akumulasi hasil upaya perintis IPA terdahulu dan umumnya telah tersusun secara lengkap dan sistematis dalam bangunan IPA atau body of knowledge dari IPA.
  1. IPA sebagai Proses
Proses di sini adalah proses mendapatkan IPA. IPA disusun dan diperoleh melalui metode ilmiah, yang dimaksud proses IPA tidak lain adalah metode ilmiah yang terdiri dari beberapa tahapan yaitu : (1) observasi; (2) klasifikasi; (3) interpretasi; (4)prediksi; (5) hipotesis; (6) mengendalikan variable; (7) merencpeserta didikan dan melaksanaan penelitian; (8) inferensi; (9) aplikasi ; dan (10) komunikasi.
  1. IPA sebagai Pemupukan Sikap
Sikap pada pembelajaran IPA Sekolah Dasar dibatasi pengertiannya pada sikap ilmiah terhadap alam sekitar. Menurut Wynne Harlen dalam Hendro Darmodjo dan Kaligis (1992), setidak-tidaknya ada sembilan aspek dari sikap ilmiah yang dapat dikembangkan pada peserta didik usia SD/MI, yaitu : (1) sikap ingin tahu; (2) sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru; (3) sikap kerja sama; (4) sikap tidak putus asa; (5) sikap tidak berprasangka; (6) sikap mawas diri; (7) sikap tanggung jawab; (8) sikap berpikir bebas; (9) sikap kedisiplinan diri.
Beberapa definisi di atas jika diamati dapat ditarik kesimpulannya bahwa IPA merupakan produk, proses, dan sikap ilmiah yang tak terpisahkan. Produk berupa kumpulan pengetahuan yang terdiri atas fakta-fakta, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip IPA. Proses berupa langkah-langkah yang harus ditempuh untuk memperoleh pengetahuan atau mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Proses itu misalnya: pengamatan, mengklasifikasikan, merumuskan hipotesis, meramalkan, inferensi, eksperimen, analisis rasional, dan komunikasi. Sikap ilmiah dalam IPA seperti bersikap objektif dan jujur pada saat sedang mengumpulkan dan menganalisis data. Menggunakan proses dan sikap ilmiah itu seorang saintis memperoleh penemuan-penemua atau produk-produk yang berupa fakta, konsep, prinsip, dan teori.
IPA berdasarkan uraian di atas pada dasarnya terdiri dari 3 komponen yang satu sama lain saling terkait yaitu proses ilmiah, sikap ilmiah, dan produk ilmiah. IPA tidak hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau berbagai macam rumus dan fakta yang harus dihafal; IPA juga merupakan kegiatan atau proses aktif yang menggunakan pikiran dalam mempelajari gejala-gejala yang terdapat di alam, lingkungan sekitar bahkan pada diri kita sendiri.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri  dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan.  Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan.  Di tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan pembelajaran Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi,  dan masyarakat) yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi  bekerja ilmiah secara bijaksana.
Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah.
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) IPA di SD/MI merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh peserta didik dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru.
Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
  1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya
  2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
  3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip  dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,  teknologi dan masyarakat
  4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan
  5. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam
  6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan
  7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut:
  1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan,  serta kesehatan
  1. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas
  2. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya.
  1. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana
Kelas V,   Semester  1
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Makhluk Hidup dan Proses Kehidupan

  1. Mengidentifikasi fungsi organ tubuh manusia dan hewan
1.1. Mengidentifikasi fungsi organ pernapasan manusia
1.2. Mengidentifikasi fungsi organ pernapasan hewan misalnya ikan dan cacing tanah
1.3. Mengidentifikasi fungsi organ pencernaan manusia dan hubungannya dengan makanan dan kesehatan
1.4. Mengidentifikasi organ peredaran darah manusia
1.5. Mengidentifikasi gangguan pada organ peredaran darah manusia
  1. Memahami  cara tumbuhan hijau membuat makanan
2.1. Mengidentifikasi cara tumbuhan hijau  membuat makanan
2.2. Mendeskripsikan ketergantungan manusia dan hewan pada tumbuhan hijau sebagai sumber makanan
  1. Mengidentifikasi cara makhluk hidup menyesuaikan diri dengan lingkungan
3.1. Mengidentifikasi penyesuaian diri hewan dengan lingkungan tertentu  untuk mempertahankan hidup
3.2. Mengidentifikasi penyesuaian diri tumbuhan dengan lingkungan tertentu untuk mempertahankan hidup
Benda dan Sifatnya
  1. Memahami hubungan antara sifat bahan dengan penyusunnya dan perubahan sifat benda sebagai hasil  suatu proses
4.1. Mendeskripsikan hubungan  antara sifat bahan dengan bahan penyusunnya, misalnya benang, kain, dan kertas
4.2. Menyimpulkan  hasil penyelidikan tentang perubahan sifat benda, baik sementara maupun tetap
  1. B. Karakteristik Bidang kajian Ilmu Pengetahuan Alam
Ilmu Pengetahuan Alam didefinisikan sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui pengumpulan data dengan eksperimen, pengamatan, dan deduksi untuk menghasilkan suatu penjelasan tentang sebuah gejala yang dapat dipercaya. Ada tiga kemampuan dalam IPA yaitu: (1) kemampuan untuk mengetahui apa yang diamati, (2) kemampuan untuk memprediksi apa yang belum diamati, dan kemampuan untuk menguji tindak lanjut hasil eksperimen, (3) dikembangkannya sikap ilmiah.
Kegiatan pembelajaran IPA mencakup pengembangan kemampuan dalam mengajukan pertanyaan, mencari jawaban, memahami jawaban, menyempurnakan jawaban tentang “apa”, “mengapa”, dan “bagaimana” tentang gejala alam maupun karakteristik alam sekitar melalui cara-cara sistematis yang akan diterapkan dalam lingkungan dan teknologi.  Kegiatan tersebut dikenal dengan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode ilmiah.  Metode ilmiah dalam mempelajari IPA itu meliputi mengidentifikasi masalah, menyusun hipotesa, memprediksi konsekuensi dari hipotesis, melakukan eksperimen untuk menguji prediksi, dan merumuskan hukum umum yang sederhana yang diorganisasikan dari hipotesis, prediksi, dan eksperimen.
Pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan yang kondusif sehingga proses belajar dapat tumbuh dan berkembang. Karena pembelajaran bersifat rekayasa perilaku, maka proses pembelajaran terikat dengan tujuan. Dari sudut pandang sosiologis, proses pembelajaran adalah proses penyiapan peserta didik untuk dapat menjalankan kehidupannya di masyarakat.
Pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung. Dalam pembelajaran tersebut peserta didik difasilitasi untuk mengembangkan sejumlah keterampilan proses (keterampilan atau kerja ilmiah) dan sikap ilmiah dalam memperoleh pengetahuan ilmiah tentang dirinya dan alam sekitar. Keterampilan proses ini meliputi: keterampilan mengamati dengan seluruh indera; keterampilan menggunakan alat dan bahan secara benar dengan selalu mempertimbangkan keselamatan kerja; mengajukan pertanyaan; menggolongkan data; menafsirkan data; mengkomunikasikan hasil temuan secara beragam, serta menggali dan memilah informasi faktual yang relevan untuk menguji gagasan-gagasan atau memecahkan masalah sehari-hari. Pada prinsipnya, pembelajaran IPA harus dirancang dan dilakspeserta didikan sebagai cara ‘mencari tahu’ dan cara ‘mengerjakan/melakukan’ yang dapat membantu peserta didik memahami fenomena alam secara mendalam (Depdiknas, 2004:3).
Dalam pembelajaran IPA peserta didik dituntut untuk menguasai konsep-konsep dasar yang telah dipilih secara selektif melalui aktivitas pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas peserta didik. Peserta didik harus mampu mengkonstruksi pengetahuan melalui aktivitas kontekstual yang dikembangkan dalam pembelajaran dimana peserta didik terlibat langsung dalam pengalaman sehari-hari yang berkaitan dengan materi yang diajarkan dan aktif melakukan eksperimen, melakukan pengolahan data, serta membuat kesimpulan. Dengan demikian, pembelajaran yang dikembangkan di dalam kelas perlu dikaitkan dengan situasi nyata dimana peserta didik berada, mendorong peserta didik membuat hubungan antara konsep yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan keseharian peserta didik di dalam masyarakat. Akhirnya pembelajaran lebih bermakna dan proses belajar lebih penting daripada hasil belajar. Dengan dukungan situasi yang demikian, peserta didik perlu dikondisikan di dalam situasi pembelajaran di kelas yang memungkinkan peserta didik mengerti dan memahami makna belajar, manfaat, peran dan status peserta didik dalam proses pembelajaran tersebut. Jika peserta didik dapat memahami dan mengerti hal tersebut, maka peserta didik akan berusaha untuk mencapainya dan memerlukan guru sebagai pembimbing, fasilitator, dan mediator.
Peserta didik dalam pembelajaran IPA diarahkan untuk membandingkan hasil prediksi peserta didik dengan teori  melalui eksperimen dengan menggunakan metode ilmiah. Pendidikan IPA di sekolah diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitarnya, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, yang didasarkan pada metode ilmiah.
Pembelajaran IPA menekankan pada pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik mampu memahami alam sekitar melalui proses “mencari tahu” dan “berbuat”, hal ini akan membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam.  Keterampilan dalam mencari tahu atau berbuat tersebut dinamakan dengan keterampilan proses penyelidikan atau “inquiry skills” yang meliputi mengamati, mengukur, menggolongkan, mengajukan pertanyaan, menyusun hipotesis, merencpeserta didikan eksperimen untuk menjawab pertanyaan, mengklasifikasikan,  mengolah, dan menganalisis data, menerapkan ide pada situasi baru, menggunakan peralatan sederhana serta mengkomunikasikan informasi dalam berbagai cara, yaitu dengan gambar, lisan, tulisan, dan sebagainya. Melalui keterampilan proses dikembangkan sikap dan nilai yang meliputi rasa ingin tahu, jujur, sabar, terbuka, tidak percaya tahyul, kritis, tekun, ulet, cermat, disiplin, peduli terhadap lingkungan, memperhatikan keselamatan kerja, dan bekerja sama dengan orang lain.
Pembelajaran IPA berorientasi pada proses bagaimana memperoleh informasi, cara IPA dan teknologi bekerja, kebiasaan bekerja ilmiah, dan keterampilan berpikir yang dikaitkan dengan situasi nyata dimana peserta didik berada dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran tersebut dikembangkan dengan pendekatan kontekstual.
Pembelajaran IPA  di sekolah sebaiknya: (1) memberikan pengalaman pada peserta didik sehingga mereka kompeten melakukan pengukuran berbagai besaran fisis, (2) menanamkan pada peserta didik pentingnya pengamatan empiris dalam menguji suatu pernyataan ilmiah (hipotesis). Hipotesis ini dapat berasal dari pengamatan terhadap kejadian sehari-hari yang memerlukan pembuktian secara ilmiah, (3) latihan berpikir kuantitatif yang mendukung kegiatan belajar matematika, yaitu sebagai penerapan matematika pada masalah-masalah nyata yang berkaitan dengan peristiwa alam,  (4) memperkenalkan dunia teknologi melalui kegiatan kreatif dalam kegiatan perancangan dan pembuatan alat-alat sederhana maupun penjelasan berbagai gejala dan keampuhan IPA dalam menjawab berbagai masalah (Pusat Kurikulum Depdiknas).
Kompetensi belajar IPA ialah membangun gagasan saintifik setelah para peserta didik berinteraksi dengan lingkungan, peristiwa, dan informasi dari sekitarnya. Pandangan konstruktivisme sebagai filosofi pendidikan IPA mutakhir menganggap semua peserta didik memiliki gagasan atau pengetahuan tentang lingkungan, pengetahuan, fakta akan gejala alam disekitarnya, meskipun hal tersebut kadang terkesan naif dan miskonsepsi. Mereka (para peserta didik) seringkali mempertahankan gagasan atau pengetahuan naif tersebut secara kokoh, karena gagasan atau pengetahuan itu mengait dengan gagasan atau pengetahuan awal lainnya yang sudah lebih dulu dibangun dalam wujud struktur kognitifnya.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada dasarnya mencari hubungan kausal antara gejala-gejala alam yang diamati. Proses pembelajaran IPA seharusnya mengembangkan kemampuan bernalar dan berpikir sistematis selain kemampuan deklaratif yang selama ini dikembangkan. Salah satu inovasi sebagai salah satu usaha adalah mencari model-model pembelajaran IPA yang memiliki kontribusi terhadap peningkatan mutu pendidikan IPA.
Belajar IPA tidak hanya belajar dalam wujud pengetahuan deklaratif berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, tetapi juga belajar tentang pengetahuan prosedural berupa cara memperoleh informasi, cara IPA dan teknologi bekerja, kebiasaan bekerja ilmiah, dan keterampilan berpikir. Belajar IPA memfokuskan kegiatan pada penemuan dan pengolahan informasi melalui kegiatan mengamati, mengukur, mengajukan pertanyaan, mengklasifikasi, memecahkan masalah, dan sebagainya.
Pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung. Peserta didik perlu dibantu untuk mampu mengembangkan  sejumlah pengetahuan  yang menyangkut kerja ilmiah dan pemahaman konsep serta aplikasinya. Bahan kajian IPA yang berkaitan dengan kerja ilmiah meliputi (Pusat Kurikulum Depdiknas):
  1. Kemampuan menggali pengetahuan melalui penyelidikan atau penelitian,
  2. Kemampuan mengkomunikasikan pengetahuannya,
  3. Kemampuan mengembangkan keterampilan berpikir,
  4. Kemampuan mengembangkan sikap dan nilai ilmiah.
Selanjutnya, bahan kajian IPA yang berkaitan dengan pemahaman konsep dan penerapannya adalah:
  1. Peserta didik memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang makhluk hidup dan proses kehidupan;
  2. Peserta didik memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang materi dan sifatnya;
  3. Peserta didik memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang energi dan perubahannya;
  4. Peserta didik memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang bumi dan alam semesta; serta
  5. Peserta didik memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang hubungan antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat.
Keterampilan proses yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran IPA, diantaranya adalah keterampilan mengamati dengan seluruh indera, mengajukan hipotesis, menggunakan alat dan bahan secara benar dengan selalu mempertimbangkan keselamatan kerja, mengajukan pertanyaan, menggolongkan, menafsirkan, mengkomunikasi-kan, hasil temuan secara beragam, menggali dan memilah informasi faktual untuk menguji gagasan atau memecahkan masalah sehari-hari.
Prinsipnya pembelajaran IPA, yaitu cara memberi tahu dan cara berbuat, akan membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang alam sekitarnya dengan mendudukkan peserta didik sebagai pusat perhatian dalam  interaksi aktif dengan teman, lingkungan, dan nara sumber lainnya.
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan pembelajaran IPA seperti yang dikemukakan dalam Kurikulum IPA berbasis KTSP, adalah (Pusat Kurikulum Depdiknas):
  1. Empat pilar pendidikan dari Unesco,
  2. Inkuiri sains,
  3. Konstruktivisme,
  4. Sains , lingkungan, teknologi, dan masyarakat,
  5. Pemecahan masalah, serta
  6. Pembelajaran IPA yang bermuatan nilai.
  1. C. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Negara-negara berkembang setelah melihat pengalaman Negara-negara maju, kini menyadari bahwa modernisasi di Negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Jepang bisa terjadi bukan saja karena ada sejumlah pakar IPA serta pakar teknologi yang berkompeten dan bertanggung jawab terhadap perkembangan IPA dan teknologi, melainkan juga karena jumlah populasi yang melek IPA dan teknologi yang memadai. Jumlah tenaga  kerja yang kualified bisa terpenuhi, dan lebih penting dari itu, terciptanya iklim saintifik yang mempengaruhi serta menciptakan suasana yang kondusif untuk inovasi teknologi yang menumbuhkan kualitas hidup masyarakat.
Hal tersebut di atas terjadi karena kualitas pendidikan IPA dapat ikut mendukung kondisi tersebut. Adanya kepedulian tentang kualitas pendidikan IPA di seluruh dunia termasuk di Indonesia, tujuan pendidikan IPA seyogianya bukan saja menghasilkan ahli IPA seperti di bi bidang kimia atau fisika, tetapi juga mendidik warga dunia untuk melek IPA dan teknologi.
Penggunaan dan pemanfaatan IPA dan teknologi di negara berkembang berkenaan dengan pendidikan yang belum melek IPA sehingga menyebabkan masyarakat belum melek piker dan tidak mendukung kondisi yang kondusif untuk meningkatkan mutu pendidikan IPA.
Pengembangan minat dan sikap terhadap pendidikan IPA seharusnya dimulai sejak dini. Peningkatan pendidikan IPA dapat dilakukan dengan mengembangkan sikap dan minat terhadap IPA sejak tingkat sekolah dasar, dengan menciptakan suasana kondusif dalam pembelajarannya.
Menurut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK tahun 2004 dan KTSP, Kurikulum Tingakat Satuan Pendidikan tahun 2006), pendidikan IPA di sekolah dasar secara eksplisit berupa mata pelajaran yang mulai diajarkan pada jenjang kelas tinggi. Sedangkan di kelas rendah pembelajaran IPA ini terintegrasi bersama mata pelajaran lainnya, terutama dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia melalui model pembelajaran tematis. Dalam KTSP ditegaskan pengertian IPA sebagai cara mencari tahu tentang alam secara sistematis dan bukan hanya kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA di Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari dirinya sendiri dan alam sekitarnya.
Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi dijelaskan bahwa mata pelajaran IPA di Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) berfungsi untuk menguasai konsep dan manfaat IPA dalam kehidupan sehari-hari serta untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs), serta bertujuan: (1) Menanamkan pengetahuan dan konsep-konsep IPA yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari; (2) Menanamkan rasa ingin tahu dan sikap positip terhadap sains dan teknologi; (3) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan; (4) Ikut serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam; (5) Mengembangkan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat; dan (6) Menghargai alam dan segala ketera-turannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
Secara global dimensi yang hendak dicapai oleh serangkaian tujuan kurikuler pendidikan IPA dalam kurikulum pendidikan dasar adalah mendidik peserta didik agar memahami konsep IPA, memiliki keterampilan ilmiah, bersikap ilmiah dan religius. Keilmiah dan tujuan transendental pendidikan IPA sebagaimana dipaparkan di atas sudah barang tentu tidak serta merta dapat dicapai oleh materi pelajaran IPA, melainkan oleh cara melibatkan peserta didik ke dalam kegiatan di dalamnya (Galton & Harlen, 1990:2). Dengan demikian pengertian, karakteristik dan tujuan pendidikan IPA SD dalam kurikulum menuntut proses belajar-mengajar IPA yang tidak terlalu akademis yakni penekanan pada penyampaian konsep-konsep dengan sistimatika yang ketak berdasarkan buku teks dan lebih-lebih sekedar verbalistik semata.
Proses pembelajaran IPA dapat dikatakan meliputi dua hal, yaitu: (1) penguasaan struktur gagasan yang rumit dan abstrak yang melibatkan belajar konsep, dan (2) penguasaan keterampilan intelektual dan keterampilan motorik yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik sekolah dasar diharapkan memiliki keterampilan miniamal antara lain menguasai keterampilan penalaran dengan menggunakan keterampilan proses dan keterampilan memecahkan masalah (Ella Y., dkk, 1994:4)
Latihan pemecahan masalah dengan melakukan pengamatan dan percobaan terutama dalam pembelajaran IPA perlu dimulai sejak di sekolah dasar, meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk dikembangkan pada usia lebih dini. Hal ini perlu mendapat perhatian karena dengan latihan pemecahan masalah, maka cara berfikir peserta didik akan terlatih, terasa, dan berkembang. Peserta didik bukan hanya sekedar menghafal, tetapi juga berfikir sebab akibat dan cara menyelesaikannya.
Poole (1980 : 138) mengemukakan bahwa peserta didik perlu diberikan kesempatan luas untuk menggunakan dan mengembangkan tidak hanya keterampilan visual belaka, melainkan juga alat indera sehingga mereka dapat mengumpulkan informasi dengan cara yang sesuai dengan gaya pengetahuan dari masing-masing peserta didik.
Coni R. Semiawan (2008 : 104) menyatakan bahwa pendekatan psikologi kognitif kontemporer yang disebut konstruktivisme mengajarkan kepada kita ilmu tentang bagaimana peserta didik manusia belajar. Mereka belajar mengkonstruksikan pengetahuan itu ke dalam kepalanya. Model transmisi peserta didik yang belajar IPA, dengan cara belajar memompkan pengetahuan itu dalam benaknyatidak menghasilkan pengertian, kecuali kalau mereka terlibat dalam proses doing IPA. Visi ini bukan hanya berlaku bagi pendidikan sekolah, terutama peserta didik usia SD, tetapi juga valid bagi semua kelompok sasaran lainnya, dengan bertolak dari pengetahuan yang mereka miliki sebagai titik permulaannya. Revolusi dalam “belajar bagaimana belajar “ (learning how to learn) ini membawa juga membawa revolusi dalam pengajaran dan perkembangan yang dapat membawa dampak yang luar biasa pada kemajuan IPA dan teknologi.
Carin dan Sund (1984 : 24) menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam adalah suatu sistem untuk mengetahui fenomena alam melalui kumpulan data yang diperoleh dari observasi dan percobaan. Pembelajaran IPA seharusnya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan konsep IPA itu sendiri. Disinilah pentingnya pengalaman nyata bagi peserta didik terhadap kejadian alam. Pembelajaran IPA berkaitan dengan pembelajaran tentang dunia fisik dan memiliki kontribusi terhadap perkembangan peserta didik dalam keberadaannya sebagai sumber pengetahuan.
Peserta didik pada dasarnya sudah memiliki pengetahuan tentang alam sekitar yang disebut pengetahuan awal , sebelum mereka memperoleh pembelajaran IPA. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahar (1989 : 160) yang menyatakan bahwa dalam proses belajar peserta didik membangun pengetahuannya sendiri dan banyak memperoleh pengetahuan di luar sekolah. Pengetahuan tersebut diperoleh dari hasil belajar yang tidak formal melalui pengalaman sehari-hari yang terdapat di lingkungannya. Sebagian pengetahuan awal yang dimiliki peserta didik belum sesuai dengan konsep ilmiah. Driver & Leach (1993 : 103) juga sejalan dengan pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa konsepsi awal peserta didik berasal dari pengalaman dan mungkin berbeda dengan konsepsi ilmiah. ….konsepsi awal peserta didik merupakan sumber yang dapat dikembangkan dan diarahkan dalam kegiatan belajar mengajar.
Menurut Tasker & Osborne (1985 : 12) dalam pembelajaran akan muncul kesulitan jika ada perbedaan pemahaman, masalah, aktivitas dan dalam menarik kesimpulan. Guru seyogyanya dapat menjembatani konsep awal peserta didik dengan konsep ilmiah. Berdasarkan uraian di atas dapat diartikan bahwa pengetahuan awal peserta didik mempunyai peranan yang penting dalam menunjang efektivitas kegiatan pembelajaran. Pengetahuan awal peserta didik dapat digali dengan upaya guru untuk mengembangkan diri dengan kegiatan belajar mengajar yang bervariasi. Beberapa hal yang dapat menunjang ketercapaian tujuan tersebut seperti pendekatan pembelajaran, metode dan model pembelajaran yang disesuaikan dengan tahap perkembangan dan karakteristik peserta didik sekolah dasar dalam meningkatkan kemampuan berpikirnya.
Berdasarkan pada teori Piaget, kebanyakan peserta didik pada usia (7-11) tahun berada pada tahap operasional konkret. Peserta didik sudah dapat berfikir logis pada tahapan ini, tapi mereka masih memerlukan benda-benda konkrit yang dapat mereka otak-atik sesuai dengan keinginannya. Hal ini dapat membantu perkembangan intelektualnya. Kegiatan manipulative (hands on activities) dan kesempatan untuk mengeksplorasi sangat penting bagi peserta didik-peserta didik pada tahap ini, karena akan membantu proses berpikirnya.
Feeney, Christensen & Moravcik (1987 : 205) dalam bukunya Who Am I in the Lives of Children menyatakan bahwa :
Young children learn trough direct experience. They learn little of value when facts are separated from their real lives. Since the school experiences of most adults were dominated by theacers who communicated information by talking, this is often the way they try to teach children. If the word teacher brings to mind a person lecturing in front of a blackboar, you may feel that you are really theaching only when the children sit and listen to you. Young children, however, learn in many different ways. Simply telling them facts is not an effective way to teach.
Holt (1991 : 3) menyatakan bahwa ciri peserta didik sekolah dasar adalah mempunyai rasa ingin tahu yang lebih, penyelidik, penemu, pembelajar dan pencipta. Blosser & Hegelson (1990 : 43) menyatakan peserta didik sekolah dasar lebih mudah memahami IPA  bila melakukan sendiri percobaan itu. Bingham (1991 : 1) menekankan pentingnya eksperimen dapat membantu peserta didik untuk lebih menemukan alasan mengapa proses sesuatu itu terjadi.
Feeney, Christensen & Moravcik (1987 : 323)menyatakan bahwa :
“Young children have a compelling curiousity to figure out why and how the world work. From their earliest months they observe and identify phenomena, discover relationship, search for answer, and communicated their discoveres.your main teaching role in science is to make it an active process that preserves and encourages the natural curiosity of children.”
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka kegiatan yang melalui pengamatan dan percobaan sesuai dengan karakteristik peserta didik sekolah dasar dan sesuai dengan pandangan konstruktivisme. Kegiatan belajar mengajar diawali dengan mengidentifikasi pengetahuan awal yang dimiliki oleh peserta didik dilanjutkan dengan melakukan eksplorasi dan percobaan.
  1. D. Dasar Teoritis Model Pembelajaran Tujuh Bintang
Model pembelajaran Tujuh Bintang adalah model pembelajaran yang berlandaskan pada teori pembelajaran konstruktivisme. Teori pembelajaran konstrukstivisme merupakan salah satu pandangan psikologi kognitif. Botzin (Conny R. Semiawan, 2008 : 3) menyatakan bahwa konstruktivisme bertolak dari pendapat bahwa belajar adalah membangun (to construct), setelah dipahami, dicernakan, dan merupakan perbuatan dari dalam diri seseorang (form within). Faktor terpenting dalam pembelajaran seperti ini adalah bukan terletak pada apa (isi) pembelajarannya, melainkan bagaimana mempergunakan peralatan mental yang ada untuk menguasai materi yang dipelajari. Pengetahuan yang diperoleh diciptakan kembali dan dibangun di dalam diri seseorang melalui pengalaman, pengamatan, pencernaan (digest), dan pemahamannya.
Menurut teori pembelajaran konstruktivis, salah satu prinsip yang penting dalam psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada peserta didik, tetapi peserta didik harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan dalam proses pembelajaran, dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan sendiri, dan mengajar peserta didik untuk menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk  belajar. Slavin (1994) juga menjelaskan bahwasanya seorang guru dapat memberikan peserta didiknya tangga yang dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan agar peserta didik itu sendiri yang memanjat tangga tersebut.
Pendekatan konstruktivis dalam pengajaran lebih menekankan pada pengajaran top-down dari pada bottom-up. Top-down berarti peserta didik belajar mulai dengan permasalahan-permasalahan yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya dengan bantuan guru menemukan keterampilan-keterampilan dasaryang diperlukan (Slavin, 1997 : 271).
Beberapa prinsip pembelajaran konstruktivis yang dikemukakan oleh Muijs & Reynold (2008:97-99) adalah sebagai berikut:
  1. Belajar selalu merupakan sebuah proses aktiif. Peserta didik secara aktif mengkonstruksikan belajarnya dari berbagai macam input yang diterimanya.
  2. Peserta didik-peserta didik belajar paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik kognitif (konflik dengan berbagai ide dan prakonsepsi lain) melalui pengalaman, refleksi, metakognisi.
  3. Belajar adalah pencarian makna. Peserta didik secara aktif berusaha mengkonstruksikan makna. Guru seharusnya berusaha mengkonstruksikan berbagai kegiatan belajardi seputar ide-ide besar dan eksplorasi yang memungkinkan peserta didik untuk mengkonstruksi makna.
  4. Konstruksi pengetahuan bukan sesuatu yang bersifat indifidual semata. Belajar juga dikonstruksikan secara sosial, melalui interaksi dengan teman sebaya, guru, orang tua, dan sebagainya. Mengkonstruksikan situasi belajar secara sosial dengan cara mendorong kerja dan diskusi kelompok adalah cara yang terbaik dalam pembelajaran.
  5. Elemen lain yang berakar pada fakta bahwa peserta didik secara individual dan kolektif mengkonstruksikan pengetahuan adalah bahwa, agar efektif guru harus memiliki pengetahuan yang baik tentang perkembangan peserta didik dan teori belajar, sehingga mereka dapat menilai secara lebih akurat belajar seperti apa yang dapat terjadi.
  6. Belajar selau dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-fakta secara murni abstrak, tetapi selalu dalam hubungannya dengan apa yang telah kita ketahui. Kita juga belajar dalam kaitannya dengan prakonsepsi kita. Ini berarti bahwa kita dapat belajar dengan paling baik jika pembelajaran baru itu berhubungan secara eksplisit dengan apa yang telah kita ketahui.
  7. Belajar secara betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan secara menyeluruh, dengan mengeksplorasi dan menengok kembali materi yang kita pelajari dan bukan dengan cepat pindah dari satu topik ke topik seperti pada pendekatan pengejaran langsung. Peserta didik hanya dapat mengkonstruksikan makna bila mereka dapat melihat keseluruhannya, bukan hanya bagian-bagiannya.
  8. Mengajar adalah tentang memberdayakan pelajar, dan memungkinkan pelajar untuk menemukan dan melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengalaman realistis. Ini akan menghasilkan pembelajaran otentik atau asli dan pemahaman yang lebih mendalam bila dibandingkan dengan memorasi permukaan yang sering menjadi ciripendekatan-pendekatan mengajar lainnya. Ini juga membuat kaum konstruktivis percaya bahwa lebih baik menggunakan bahan-bahan hands-on dan riil daripada textbook.
Brooks & Brooks (1993: 35-85) menyatakan bahwa terdapat beberapa prinsip petunjuk dari pembelajaran konstruktivis adalah sebagai berikut:
  1. 1. Posing problems of emerging relevance to student,
  2. 2. Structuring learning around primary consepts: The quest for essence
  3. 3. Seeking and valuing students’ points of view,
  4. 4. Adapting curriculum to address students’ suppositions,
  5. 5. Assessing student learning in the context of teaching.
Konstruktivisme merupakan filosofi pendekatan kontekstual yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh peserta didik, melalui pemecahan masalah dan menemukan sesuatu yang berguna. Proses menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, pengetahuan, dan keterampilan sehingga peserta didik diharapkan menemukan sendiri hasilnya. Tahap-tahap peserta didik menemukan merupakan cara berpikir ilmiah melalui keterampilan proses, di antaranya adalah merumuskan masalah, melakukan observasi, melakukan analisis dan menyajikan hasil serta mengkomunikasikan.
Kegiatan pembelajaran menurut pandangan konstruktivisme dimulai dari apa yang diketahui peserta didik, sehingga pembelajaran tidak dapat dilakukan dengan cara indoktrinasi gagasan atau pengetahuan saintifik supaya peserta didik mau mengganti dan memodifikasi gagasannya yang non saintifik menjadi gagasan atau pengetahuan yang saintifik. Dengan demikian, arsitek peubah gagasan atau pengetahuan dalam diri peserta didik adalah peserta didik sendiri. Sedangkan guru hanya berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan pembimbing yang menyediakan, mempermudah, bahkan kalau bisa mempercepat berlangsungnya proses belajar. Dalam proses konstruksi itu, menurut Von Glaserfeld (Jaskarti, 2002) diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada pengalaman yang lain.
Beberapa bentuk kondisi belajar yang sesuai dengan filosofi konstruktivisme adalah diskusi di mana peserta didik mau mengungkapkan gagasan, pengujian dan penelitian sederhana, demo serta  peragaan prosedur ilmiah, juga kegiatan lain yang memberi ruang kepada peserta didik untuk dapat mempertanyakan, memodifikasi, dan mempertajam gagasannya.
Belajar secara konstruktif, para peserta didik mempunyai kesempatan untuk menyatakan, menguji, memodifikasi, dan juga meninggalkan ide-ide awal mereka yang sudah ada sebelumnya dan mengadopsi ide-ide baru. Melalui tugas-tugas dalam pelajaran IPA yang dikaitkan dengan tingkat perkembangan intelektualnya, para peserta didik mempunyai kesempatan untuk memahami alam secara aktif dengan membangun pemahaman tentang fenomena alam melalui aktivitas nyata kehidupan sehari-hari.
Menurut Carr, dkk (1989) konstruktivisme sebagai sebuah pendekatan dalam proses pembelajaran merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang dapat menjanjikan akan adanya perubahan pada hasil pembelajaran. Pendekatan konstruktivisme lebih menekankan pada peserta didik sebagai pusat pembelajaran, dan pendekatan seperti ini diharapkan dapat lebih merangsang dan memberi peluang kepada peserta didik untuk belajar, berpikir inovatif, dan mengembangkan potensinya secara optimal.
Menurut teori konstruktivisme, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang aktif, dimana peserta didik membangun sendiri pengetahuannya, mencari sendiri dari apa yang mereka pelajari. Setiap peserta didik bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Setiap peserta didik harus memahami tentang kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya, mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat bagi mereka sendiri dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Seorang guru harus berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik, penekanan ada pada peserta didik yang belajar. Peran ini menuntut guru untuk menyediakan pengalaman-pengalaman belajar yang memungkinkan peserta didik bertanggung jawab dalam memperoleh hasil belajarnya. Guru harus menyediakan dan menciptakan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta didik serta membantu mereka mengekspresikan gagasan-gagasannya, menyediakan sarana yang merangsang peserta didik untuk berpikir secara produktif, serta member semangat belajar.
Pembentukan pengetahuan menurut model konstruktivisme memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi (Piaget, 1988 : 60).
Pandangan konstruktivisme dari Piaget, berpendapat bahwa dalam proses belajar peserta didik membangun pengetahuannya sendiri dan memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah (Dahar, 1989 : 160). Oleh karena itu setiap peserta didik akan membawa konsepsi awal mereka yang diperoleh selama berinteraksi dengan lingkungan dalam kegiatan belajar mengajar. Terdapat beberapa hal yang perlu ditekankan dalam konstruktivisme (Tasker, 1992 : 30), yaitu sebagai berikut:
  1. Peran aktif peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna,
  2. Pentingnya membuat kaitan antar gagasan oleh peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan,
  3. Mengaitkan gagasan peserta didik dengan informasi baru di kelas.
Konstruktivisme yang menggunakan kegiatan “hands-on” serta memberikan kesempatan yang luas untuk melakukan dialog dengan guru dan teman-temannya akan dapat meningkatkan pengembangan konsep dan keterampilan berpikir  para peserta didik. Kegiatan “hands-on” melibatkan kegiatan manipulative (penggunaan tangan, keterampilan motorik) yang memungkinkan alat-alat inderanya berkembang melalui observasi dan pengalaman langsung. Hal itu memungkinkan berkembangnya pengetahuan fisis. Setelah diperoleh pengetahuan fisis, peserta didik dapat mengembangkan pengetahuan logik matematis melalui berpikir, sedangkan melalui diskusi pengetahuan sosialnya ikut berkembang secra aktif.
Para pakar konstruktivis telah mengembangkan sejumlah model pembelajaran yang beragam dan sering kali bersifat spesifik-subjek, namun memiliki banyak elemen yang sama. Elemen-elemen yang terdapat dalam dalam pembelajaran yang dilandasi filosofi konstruktivis adalah sebagai berikut (Muijs&Reynold, 2008 : 99) :
  1. Mengaitkan ide-ide dengan pengetahuan sebelumnya.
Mengaitkan ide-ide dengan pengetahuan sebelumnya dapat dilakukan pada awal sebuah topik baru, tetapi tidak boleh dibatasi pada bagian pelajaran yang itu saja. Guru perlu mencari tahu apakah murid-muridnya mengetahui tentang topik itu sebelum pembelajaran dimulai.
  1. Modelling
Aspek kunci lain dari pengajaran konstruktivisme adalah modelling. Modelling ini dilakspeserta didikan dengan cara guru melakspeserta didikan sebuah tugas yang kompleks dan menunjukkan kepada murid proses-proses yang dibutuhkan untuk melakspeserta didikan tugas itu, atau guru dapat memberi tahu murid tentang pikiran dan strateginya selama menyelesaikan sebuah soal. Guru juga akan memberikan alasan untuk melakukan caranya dan akan mendemon-strasikan langkah-langkah kuncinya. Modelling dilakukan dalam dua bentuk yaitu: (1) behavioural modelling untuk performa yang kasat mata dan (2) cognitive modelling untuk proses-proses kognitif yang tidak kasat mata.
  1. Scaffolding
Scaffolding merupakan salah satu bagian penting metodologi konstruktivis karena dapat membantu mengembangkan pelajar-pelajar agar mandiri. Scaffolding (penopangan) dan dilakukan dengan cara guru memberikan bantuan kepada murid untuk mencapai tugas-tugas yang belum dapat mereka kuasai sendiri, dan kemudian sedikit demi sedikit menarik dukungannya. Scaffolding dari guru dapat memiliki beragam bentuk, seperti pertanyaan, prompts, tugas-tugas yang disarankan, sumber daya yang disediakan, tantangan, dan kegiatan kelas. Scaffolding bukan berarti menuntun dan mengajari murid ke arah tujuan yang sudah ditetapkan tetapi mendukung pertumbuhannya melalui kegiatan-kegiatan kognitif dan metakognitif.
  1. Coaching
Coaching adalah proses memotivasi peserta didik, menganalisis performa mereka dan memberikan umpan balik tentang kinerja mereka. Salah satu bentuk coaching disebut sebagai cognitive coaching yang dirancang untuk membuat murid lebih menyadari proses-proses berpikirnya, dan yang akan membantu mereka untuk menjadi lebih reflektif tentang belajarnya. Ini akan membangun keterampilan peserta didik dalam mengatasi masalah dengan member mereka sarana-sarana yang dapat mereka gunakan dalam beragam situasi. Tipe coaching ini melibatkan tindakan membantu peserta didik untuk memikirkan tentang cara yang mereka gunakan untuk mengatasi berbagai masalah. Ini melibatkan refleksi diri, internalisasi, dan generalisasi.
  1. Artikulasi
Salah satu elemen pelajaran konstruktivis adalah artikulasi, yaitu kegiatan yang mendorong murid untuk mengartikulasikan ide, pikiran, dan solusi mereka. Peserta didik seharusnya tidak hanya diberikan kesempatan untuk mengkonstruksikan makna dan mengembangkan pikiran mereka, tetapi juga dapat memperdalam proses-proses ini melalui pengekspresian ide-idenya. Hal ini bias dilakukan dengan cara memberikan peserta didik tugas-tugas yang kompleks, yang melibatkan kesempatan untuk membicarakan tentang ide-ide mereka, dan mempresentasikannya kepada murid-murid lain dan guru. Kerja kelompok mendorong murid untuk mendiskusikan berbagai masalah dan strategi dengan teman-temanya, memberikan banyak kesempatan untuk artikulasi. Memberikan peluang kepada peserta didik untuk mempresentasikan ide-ide dan argument-argumennya dan mempertahankannya di depan publik juga akan membentu mempertajam pemikiran peserta didik tentang topik tersebut.
  1. Refleksi
Refleksi terjadi ketika peserta didik membandingkan solusinya dengan solusi para pakar atau murid-murid lain. Ini merupakan salah satu momen kunci belajar, dan dapat didorong oleh guru yang memberikan contoh-contoh tandingan untuk berbagai pendapat yang dikemukakan oleh murid-murid lain, dan dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mendiskusikan temuan, ide, dan strategi mereka. Refleksi juga berarti membuat murid memikirkan tentang cara mereka menyelesaikan masalah, strategi yang mereka gunakan, dan apakah cara dan strategi itu efektif.
  1. Kolaborasi
Elemen lain dalam pengajaran konstruktivis adalah kolaborasi. Pendekatan konstruktivis untuk kolaborasi termasuk pengajaran resiprokal, kolaborasi sebaya, cognitive apprenticeship, pengajaran berbasis masalah, webquests, anchored instruction, dan metode-metode lain yang melibatkan belajar dengan orang lain. Salah satu konsep kunci di dalam kolaborasi konstruktivis adalah konsep “purposeful talk”, percakapan yang memberikan kesempatan kepada murid untuk menelaah, mengelaborasikan, mengakses, dan membangun pengetahuannya di dalam konteks sosial.
  1. Kegiatan eksplorasi dan menyelesaikan masalah.
Kegiatan ini adalah bagian kunci pembelajaran konstruktivis. Keduanya memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan pemikiran dan pemaknaan (meaning-making) mereka, dengan mengembangkan kombinasi-kombinasi ide baru dan dengan memikirkan tentang hasil-hasil hipotesis dari berbagai situasi dan kejadian yang dibayangkan. Di kelas konstruktivis, peserta didik akan sering mencari data atau informasi yang menjawab sebuah pertanyaan atau yang membantu penyelesaian suatu masalah.
  1. Pilihan dan Opsi
Sebuah elemen yang terkait adalah bahwa para guru konstruktivis akan memberikan pilihan dan opsi kepada peserta didik. Peserta didik diberi kesempatan untuk memilih tugas, proyek, atau pekerjaan yang mereka kerjakan. Guru bekerja bersama murid untuk merancang berbagai proyek yang akan memfasilitasi belajar. Hal ini akan lebih memotivasi peserta didik dan memberikan makna yang lebih berarti, sehingga lebih memungkinkan untuk menghasilkan lebih banyak pembelajaran.
  1. Fleksibilitas
Pembelajaran konstruktivis, seorang guru harus bersikap reaktif, dalam arti tidak membiarkan peserta didik mengarahkan pelajarannya sendiri. Guru dapat memberikan reaksi pada respond an ide dari peserta didik, dan pembelajaran dapat berjalan kea rah yang berbeda dengan rancangan aslinya.
  1. Adaptif
Guru juga perlu bersikap adaptif dalam pembelajaran. Pembelajaran individual peserta didik harus dipertimbangkan, bukan hanya dalam hubungannya dengan kemampuan akademik mereka, tetapi juga gaya belajarnya. Ini berarti bahwa mengajar perlu dibuat bervariasi, untuk memancing digunakannya cara-cara belajar peserta didik yang berbeda. Itu juga berarti bahwa murid mungkin bervariasi dalam hal waktu yang digunakannya untuk mendapatkan pemahaman tentang konsep tertentu. Mereka perlu diberi waktu yang memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi berbagai konsep secara total. Guru perlu terus menerus mengobservasi belajar peserta didik, dan bila perlu menyesuaikan pengajaran/kurikulum mereka.
  1. 12. Multiple realities
Menekankan adanya multiple realisties adalah cara yang baik untuk mengalihkan peserta didik dari konsepsi bahwa selalu ada sebuah jawaban yang benar, dan akan membantu mereka menjadi lebih bijak dan terlibat di dalam pembelajaran yang lebih mendalam.
  1. E. Konsep Model Pembelajaran Tujuh Bintang
Nama model pembelajaran Tujuh Bintang ini dipilih dengan alasan; di dalam model pembelajaran Tujuh Bintang terdapat tujuh komponen atau aspek yang penting yang harus dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Ketujuh aspek inilah yang menjadi karakteristik dalam model pembelajaran Tujuh Bintang. Ketujuh aspek tersebut adalah sebagai berikut: (1) Orientasi, (2) Motivasi, (3) Elisitasi gagasan, (4) Restrukturisasi gagasan, (5) Aplikasi gagasan, (6) Refleksi dan Perubahan Gagasan, dan (7) Selebrasi.
Orientasi merupakan kegiatan memusatkan perhatian peserta didik dengan menanyakan tentang fenomena alam yang sering dijumpai peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, yang ada kaitannya dengan konsep yang akan dipelajari. Tujuan kegiatan ini untuk menghadapkan situasi konflik pemikiran peserta didik terhadap gejala-gejala alam dan hubungannya dengan konsep IPA.
Motivasi adalah tahap tahap dimana guru melakukan suatu kegiatan yang dapat mendorong peserta didik agar tertarik, merasa penasaran, dan tumbuh rasa keingintahuan yang besar untuk segera mempelajari materi yang akan disampaikan. Motivasi penting juga untuk memicu semangat peserta didik di awal proses pembelajaran.
Aspek yang ketiga adalah Elisitasi gagasan. Kegiatan ini merupakan upaya yang dilakukan oleh guru untuk memunculkan gagasan peserta didik tentang topik yang dibahas dalam pembelajaran.. Cara yang dilakukan bisa juga dengan meminta peserta didik untuk menuliskan apa saja yang mereka ketahui tentang topik yang dibahas atau bisa dengan cara menjawab pertanyaan uraian terbuka yang diajukan oleh guru. Bagi guru tahapan ini merupakan upaya eksplorasi pengetahuan awal peserta didik.
Aspek selanjutnya adalah Restrukturisasi gagasan. Aspek ini terdiri dari tiga tahapan. Pertama, Tahap pengungkapan dan pertukaran gagasan. Tahap ini merupakan tahapan untuk memperjelas atau mengungkapkan gagasan awal peserta didik tentang suatu topik secara umum, misalnya dengan cara melakukan permainan dengan kartu tentang topik pembelajaran, mendiskusikan hasil permainan dan jawaban peserta didik pada tahap elisitasi dalam kelompok kecil, kemudian salah satu anggota kelompok melaporkan hasil diskusi ke seluruh kelas. Kedua, Tahap pembukaan situasi konflik. Pada tahap pembukaan ke situasi konflik, peserta didik diberi kesempatan untuk mencari pengertian ilmiah yang sedang dipelajari di dalam handout yang dirancang oleh peneliti sesuai dengan model pembelajaran Tujuh Bintang. Selanjutnya peserta didik mencari beberapa perbedaan antara konsep awal mereka dengan konsep ilmiah yang ada dalam handout. Ketiga, Tahap konstruksi gagasan baru. Tahap ini merupakan tahapan untuk mencocokkan gagasan yang sesuai dengan fenomena yang dipelajari guna mengkontruksi gagasan baru.
Aspek yang kelima adalah Aplikasi gagasan. Pada tahap ini peserta didik dibimbing untuk menerapkan gagasan baru yang dikembangkan melalui percobaan atau observasi ke dalam situasi baru. Gagasan baru yang sudah direkonstruksi dalam aplikasinya dapat digunakan untuk menganalisis isu-isu dan memecahkan masalah yang ada di lingkungan.
Refleksi dan perubahan gagasan merupakan  tahap dimana guru memberikan umpan balik terhadap konsep yang telah diperoleh peserta didik untuk memperkuat konsep ilmiah tersebut. Dengan demikian, peserta didik yang konsepsi awalnya tidak konsisten dengan konsep ilmiah akan dengan sadar mengubahnya menjadi konsep ilmiah.
Selebrasi adalah tahap akhir dari proses pembelajaran. Pada tahap ini peserta didik diberi kesempatan untuk melakukan selebrasi (perayaan) ketika mereka telah berhasil menyelesaikan suatu tahap pembelajaran. Selebrasi akan dapat menambatkan belajar dengan asosiasi positif, memberi perasaan berhasil dengan menghormati usaha, ketekunan dan kesuksesan. Pada tahap ini setiap peserta didik wajib mengakui prestasi orang lain dan berhak diakui orang lain atas prestasi yang telah dia raih. Selebrasi dapat dilakukan dengan saling memuji, bernyanyi bersama, pameran hasil maupun pesta kelas.
Tabel 1
Karakteristik Model Pembelajaran Tujuh Bintang
Kriteria
Model Pembelajaran Tujuh Bintang
Perencanaan
  1. Pendekatan : Konstruktivis, SETS, Fun Learning, kooperatif
  2. Metode : Ceramah, Diskusi, Demonstrasi, Eksperimen, Permainan/Games
  3. Media : Handout, Gambar, Kartu Permainan, bahan praktikum
Proses
  1. Orientasi
  2. Motivasi
  3. Elisitasi gagasan
  4. Restrukturisasi  gagasan
    1. Tahap pengungkapan dan pertukaran gagasan
    2. Tahap pembukaan situasi konflik
    3. Tahap konstruksi gagasan baru
    4. Aplikasi gagasan
    5. Refleksi dan perubahan gagasan
    6. Selebrasi
Penilaian
Unjuk Kerja, Penilaian sikap, pengamatan kinerja, tes tertulis, tes lisan.
Tabel 2
Keunggulan Model Pembelajaran Tujuh Bintang
Kriteria
Model Pembelajaran Tujuh Bintang
Keunggulan
  1. Model Pembelajaran “Tujuh Bintang” lebih menyajikan suasana pembelajaran yang menyenangkan dengan adanya pendekatan fun learning, dimana salah satunya terdapat gemes dalam tahapan pembelajaran. Dengan pembelajaran yang menyenangkan, peserta didik sekolah dasar akan lebih tertarik dan bersemangat untuk mengikuti pembelajaran.
  2. Media yang digunakan dalam model pembelajaran “Tujuh Bintang” lebih bervariasi, meliputi handout dengan desain konstruktivis, kartu permainan, dan gambar.
  3. Menyajikan pembelajaran dengan hand-on dan mind-on activities yang menyenangkan
  4. Dengan konsep  membangun pengetahuan sendiri (konstruktivis) oleh peserta didik, peserta didik mengalami pembelajaran dengan penemuan yang berimplikasi pada pembelajaran bermakna.
  5. Dalam kegiatan eksperimen menggunakan bahan-bahan yang mudah di peroleh dan terdapat di lingkungan sekitar peserta didik sehingga  dapat lebih mudah membantu keaktifan dan kreatifitas peserta didik
Tabel 3
Kelemahan Model Pembelajarn Tujuh Bintang
Kriteria
Model Pembelajaran Tujuh Bintang
Kelemahan
  1. Peserta didik mengkonstruk pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi peserta didik tidak cocok dengan hasil konstruksi para ilmuan sehingga menyebabkan miskonsepsi. Guru harus bisa mengarahkan peserta didik untuk menuju konsep yang benar.
  2. Konstruktivisme menanamkan agar peserta didik membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap peserta didik memerlukan penanganan yang berbeda-beda.